Oleh: Sekar Arum Aniswari
Apa yang terlintas di benak kalian ketika mendengar karhutla?
Karhutla merupakan bentuk bencana alam yang terjadi akibat faktor lingkungan, dan/atau bentuk bencana non-alam apabila disebabkan oleh aktivitas manusia. Karhutla bukanlah bencana asing di Indonesia. Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI, pada lima tahun terakhir, setidaknya telah terjadi 400.000 ha karhutla setiap tahunnya. Umumnya kebakaran ini terjadi di kawasan hutan dengan lahan mineral maupun lahan gambut. Kawasan hutan menyimpan biomassa yang tinggi, khususnya di lahan gambut. Saat terbakar, hutan di Indonesia akan mengeluarkan emisi karbon dioksida yang dapat menimbulkan polusi udara dan pencemaran asap lintas batas (transboundary haze pollution) ke negara lain.
Lalu bagaimana upaya di kala ini untuk menanggulangi karhutla?
Pemerintah Republik Indonesia pada tahun 2003 melalui Departemen Kehutanan, membentuk brigade pengendalian kebakaran hutan Indonesia bernama Manggala Agni. Berbagai upaya mitigasi bencana telah dilakukan oleh Manggala Agni untuk pencegahan, pemadaman, dan penanganan kebakaran. Tindakan mitigasi yang dilakukan selalu berkembang agar efektif dan efisien dalam menangani kondisi yang terjadi. Pada pandemi saat ini, tindakan mitigasi karhutla yang dilakukan terintegrasi dalam sebuah siklus, yaitu monitoring, groundcheck, pemadaman darat, pemadaman udara, teknologi modifikasi cuaca (TMC), monitoring SDM, dan penanganan pasca-karhutla.
“You can’t create rain with cloud seeding,
you can only enhance clouds that are already present”
Untuk selengkapnya bisa dibaca lebih lanjut nanti di majalah bosbouw 3.0