Bagaimana Akibatnya Jika Hewan yang Kalian Benci Punah?

Oleh: Louis (BW’14)

Ecnomiohyla rabborum. Sumber: Brian Gratwicke, 2011

Incilius periglenes. Sumber: Charles H. Smith, 1989

Leptophryne cruentata. Sumber: http://thezt2roundtable.com/topic/9713762/1/

Katak. Kodok. Bangkong. Atau banyak nama umum lainnya yang digunakan untuk menyebut salah satu anggota dari ordo Anura tersebut. Lebih banyak yang membenci hewan amfibi tanpa ekor ini daripada yang mencintainya. Namun, bagaimana jika hewan ini punah, seperti yang sedang terjadi saat ini? Apakah kalian cukup peduli terhadap mereka? Atau kalian malah berpikir bahwa ini adalah suatu anugerah?

Katak pada foto pertama bernama Toughie, dari spesies Rabb’s fringe-limbed tree frog (Ecnomiohyla rabborum). Spesies ini diketahui hanya hidup di hutan pegunungan di Panama tengah, Amerika Tengah[1]. Well, ia sudah meninggal 26 September 2016 silam. Kabar buruknya, ia adalah individu terakhir yang diketahui dari spesies Ecnomiohyla rabborum[2]. Walaupun awalnya ia resmi dinyatakan punah, peneliti dan ahli konservasi masih terus mencari individu yang tersisa di alam liar, dan berangkat dari harapan kecil ini, statusnya di International Union for Conservation of Nature (IUCN) Red List (sejenis katalog biodiversitas dunia) menjadi Critically Endangered[1].

Katak pada foto kedua berasal dari spesies Incilius periglenes, atau kodok emas. Mungkin kalian sudah banyak melihat foto ini di berbagai artikel atau kampanye tentang biokonservasi. Kodok ini memang menjadi salah satu spesies terkenal yang turut menjadi korban krisis amfibi belakangan ini. Terakhir kali dijumpai di alam liar pada tahun 1989, habitat asli kodok ini hanya terbatas pada suatu area kurang dari 8 km2 di Costa Rica, Amerika Tengah.[3] Saat ini, Incilius periglenes telah dicatat oleh IUCN Red List sebagai spesies yang punah.[4]

Katak pada foto ketiga ialah kodok berdarah, Leptophyrne cruentata. Tidak seperti dua katak sebelumnya, katak ini masih dapat dijumpai, namun terbatas hanya di dalam dataran rendah yang lembab dan hutan pegunungan di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, umumnya pada ketinggian 1.000 hingga 2.000 mdpl.[5] Leptophryne cruentata disebut kodok berdarah karena mampu mengeluarkan sekresi berupa campuran senyawa kimia yang bewarna merah darah ketika individu berada dalam kondisi stress.[6]

Tiga spesies ini hanyalah tiga dari total 5.208 spesies katak di dunia (yang diakui oleh IUCN Red List), 1.672 spesies atau sekitar 32% diantaranya terancam punah.[7] 1.197 spesies (23%) diantaranya belum memperoleh cukup data untuk dikategorikan menurut IUCN Red List, sehingga masuk ke dalam kategori Data Deficient, namun tidak menutup kemungkinan spesies – spesies yang belum banyak diteliti ini juga terancam punah.[7] Sebanyak 32 spesies telah punah – semuanya setelah tahun 1500.[7]

 

APA YANG SEBENARNYA TERJADI?

Empat atau lima dekade ini, meski biokonservasi telah berkembang dan diterima oleh kebanykan stakeholders di dunia dengan baik, amfibi sedang memasuki masa kelamnya. Krisis amfibi, begitu para ilmuwan menyebut era ini. Sama seperti penyebab ancaman kepunahan taksa – taksa lainnya, katak tidak luput dari kehilangan habitat akibat deforestasi, konversi lahan basah atau perairan menjadi lahan kering, atau jenis – jenis degradasi habitat katak yang lainnya; perburuan katak secara liar untuk diperdagangkan (pet trade); polusi lingkungan dan penggunaan pestisida secara berlebihan; introduksi spesies asing, banyak diantaranya yang bersifat invasif; serta masih banyak lagi[8].

Namun, semua penyebab yang disebutkan sebelumnya tidak dapat menjelaskan menurunnya jumlah katak di daerah yang bebas dari intervensi manusia, dimana semua penyebab tersebut tidak memungkinkan untuk terjadi. Beberapa penyebab yang mungkin untuk menjelaskan hal ini antara lain perubahan iklim yang membahayakan DNA dan telur amfibi[9]; penerangan artifisial yang memikat serangga ke sumber cahaya dan mengurangi jumlah serangga di habitat katak[10]; serta epidemi chytridiomycosis (disebabkan oleh fungi Batrachochytrium dendrobatidis) yang telah menyebabkan kematian masal katak – katak di benua Amerika dan Australia. Epidemi yang sama sudah terbukti menyebabkan kepunahan masal berbagai spesies katak di kedua benua ini selama empat atau lima dekade terakhir.

 

APA AKIBATNYA JIKA KATAK PUNAH?

Bagaimanapun juga, katak adalah satwa yang banyak mempengaruhi kehidupan manusia, tidak kalah pentingnya dengan, katakan, kucing atau domba. Kegunaan katak tak hanya terbatas pada makanan atau sebagai objek bedah di sekolah untuk mempelajari anatomi fisiologi hewan. Katak memang menjadi ketertarikan sendiri dalam dunia sains. Dengan mempelajari katak, Luigi Galvani menemukan hubungan antara sistem saraf dan listrik[11]. Xenopus laevis menjadi organisme model dalam pembelajaran biologi perkembangan, biologi sel, biologi molekuler, neurobiologi, dan toksikologi.[12] Spesies yang sama menjadi spesies vertebrata pertama yang dikloning[13], organisme yang ideal untuk studi tentang apoptosis (kematian sel yang terprogram)[14], serta alat untuk metode uji kehamilan pertama yang dikomersialkan. Metode uji kehamilan ini bahkan masih dapat digunakan hingga sekarang.[15]

Racun yang terdapat pada sekresi dari kulit katak panah beracun tak hanya dapat digunakan sebagai racun untuk ujung anak panah milik orang – orang suku Amazon. Dalam bidang farmasi, ilmuwan telah mengekstrak senyawa alkaloid epibatidin dari katak panah beracun, yang diketahui berpotensi menjadi painkiller yang 200 kali lebih ampuh daripada morfin. Ada juga isolat senyawa kimia dari kulit katak yang ditengarai mampu memberikan resistensi terhadap infeksi HIV.[16]

Dalam bidang ekologi, katak adalah salah satu bioindikator yang baik dalam menunjukkan akumulasi polusi di lingkungannya.[17] Karena katak menyerap senyawa kimia beracun dengan kulit namun kemampuan mereka men-detoksifikasi racun tersebut rendah, residu dari racun akan menetap di kulit. Ilmuwan memanfaatkan sifat absorbansi kulit katak untuk menganalisis seberapa terkontaminasi habitat katak tersebut[18]. Berkurangnya jumlah katak di habitat aslinya juga dapat menandakan bencana alam yang tidak terlihat, seperti wabah parasit pada katak dan intensitas sinar ultra violet yang bertambah di daerah tersebut.

 

LALU, APA PENTINGNYA MELINDUNGI KATAK?

Katak berperan sangat signifikan dalam jaring makanan di ekosistemnya. Hampir semua katak merupakan predator, namun sangat jarang ada katak yang menjadi predator puncak. Mereka kebanyakan memakan serangga herbivora, cacing, ular kecil, atau bahkan katak lainnya yang lebih kecil, dan dimakan oleh predator lain. Tentu kalian dapat membayangkan bila seluruh katak di muka bumi punah. Bagai efek domino, organisme yang awalnya menjadi makanan katak membeludak jumlahnya, sedangkan predator katak jumlahnya menipis dan bahkan menjadi punah. Ekosistem pun akan menjadi tidak seimbang, dan pada akhirnya biodiversitas akan semakin menyusut.

Katak di dunia menyimpan sejuta potensi. Sekresi dari katak berdarah (Leptophryne cruentata, foto ketiga) ternyata memiliki sejumlah antifungal dan anti bakteri yang diduga membuatnya mampu resisten terhadap Batrachochytrium dendrobatidis, fungi yang menyebabkan lebih dari 100 spesies katak terinfeksi masal dan terancam punah[19]. Masih banyak lagi potensi dari katak yang belum kita ketahui, tetapi dengan laju kepunahan amfibi saat ini, akan banyak spesies katak yang punah bahkan sebelum kita identifikasi dan ketahui potensinya.

Jadi, masihkah kalian berbahagia jika katak di dunia ini musnah?

Daftar Pustaka

  1. Mendelson, Joseph R. Ariadne Angulo. 2009. Ecnomiohyla rabborum. In: IUCN 2011. IUCN Red List of Threatened Species. Version 2011.2. Diambil 22 April 2018.
  2. Emerson, Bo. 2016. “Rare frog goes extinct, despite Atlanta’s rescue efforts”. The Atlanta Journal-Constitution. Diambil 22 April 2018.
  3. Crump, M. L.; Hensley, F. R.; Clark, K. L. 1992. “Apparent Decline of the Golden Toad: Underground or Extinct?” Copeia. 1992 (2): 413–420.
  4. Savage, J., Pounds, J. & Bolaños, F. 2008. Incilius periglenes. The IUCN Red List of Threatened Species.
  5. Iskandar, Djoko. Mumpuni. 2004. Leptophryne cruentata. The IUCN Red List of Threatened Species. IUCN. 2004: e.T54815A11207443.
  6. “Antifungal activity of skin secretion of bleeding toad Leptophryne cruentata and Javan tree frog Rhacophorus margaritifer“. American Journal of Biochemistry and Biotechnology. 11 (1): 5–10.
  7. Stuart, Simon N. et al. 2008. Threatened Amphibians of the World. Barcelona: Lynx Edicions.
  8. Alford, Ross A.; Bradfield, Kay S.; Richards, Stephen J. (2007). “Ecology: Global warming and amphibian losses.” Nature. 447 (7144): E3–E4.
  9. Blaustein, Andrew R.; Joseph M. Kiesecker; Douglas P. Chivers; Robert G. Anthony (November 1995). “Ambient UV-B radiation causes deformities in amphibian embryos”. PNAS. 92. pp. 11049–11052.
  10. Baker, B.J.; Richardson, J.M.L. 2006. “The effect of artificial light on male breeding-season behaviour in green frogs, Rana clamitans melanota“. Canadian Journal of Zoology. 84: 1528–1532.
  11. Wells, David Ames (1859). The science of common things: a familiar explanation of the first principles of physical science. For schools, families, and young students. Ivison, Phinney, Blakeman. p. 290.
  12. Browder, L.; Iten, L. 1998. “Xenopus as a Model System in Developmental Biology”. Dynamic Development. University of Calgary. Diambil 22 April 2018.
  13. “The Nobel Prize in Physiology or Medicine 2012”. https://www.nobelprize.org/nobel_prizes/medicine/laureates/2012/ Diambil 23 April 2018.
  14. Jewhurst, K. Levin, M. McLaughlin, K.A. 2014. “Optogenetic Control of Apoptosis in Targeted Tissues of Xenopus laevis Embryos”. J Cell Death. 7: 25–31.
  15. Green, SL. 2010. The Laboratory Xenopus sp: The Laboratory Animal Pocket Reference Series. Taylor and Francis Group, LLC, Boca Raton, Fla.
  16. VanCompernolle, S. E.; Taylor, R. J.; Oswald-Richter, K.; Jiang, J.; Youree, B. E.; Bowie, J. H.; Tyler, M. J.; Conlon, M.; Wade, D.; et al. 2005. “Antimicrobial peptides from amphibian skin potently inhibit human immunodeficiency virus infection and transfer of virus from dendritic cells to T cells”. Journal of Virology. 79 (18): 11598–11606.
  17. Simon, E., Braun, M. & Tóthmérész, B. 2010. Water Air Soil Pollution 209: 467.
  18. Lambert, M. R. K. 1997. “Environmental Effects of Heavy Spillage from a Destroyed Pesticide Store near Hargeisa (Somaliland) Assessed During the Dry Season, Using Reptiles and Amphibians as Bioindicators”. Archives of Environmental Contamination and Toxicology. 32 (1): 80–93.
  19. Kusrini, M. D.; Skerratt, L. F.; Garland, S.; Berger, L.; Endarwin, W. 2008. “Chytridiomycosis in frogs of Mount Gede Pangrango, Indonesia”. Diseases of Aquatic Organisms. 82 (3): 187–194.

2 Comments

  1. Helpful piece – people need to read more like this, as most info about this topic is generic. You provide real worth to your readers.

  2. *An impressive share, I just given this onto a colleague who was doing a little analysis on this. And he in fact bought me breakfast because I found it for him.. smile. So let me reword that: Thnx for the treat! But yeah Thnkx for spending the time to discuss this, I feel strongly about it and love reading more on this topic. If possible, as you become expertise, would you mind updating your blog with more details? It is highly helpful for me. Big thumb up for this blog post!

Leave a Comment

Your email address will not be published.