Oleh: Gabriel Hutajulu, BW’17
Apa itu karbon biru?
‘Karbon biru’ merujuk pada karbon yang diserap dan disimpan di dalam laut dan ekosistem pesisir. Disebut ‘biru’ karena terbentuk di bawah air. Dalam hal ini termasuk pula karbon pesisir yang tersimpan dalam lahan basah pasang surut, seperti hutan pasang surut, mangrove, semak pasang surut dan padang lamun, di dalam tanah, biomassa hidup dan biomassa mati dalam kolam karbon. Hutan mangrove merupakan ekosistem kaya-karbon yang mampu menyimpan tiga kali lebih banyak karbon per hektar dibanding hutan terestrial.
Bila dilindungi dan direstorasi, dan materi organik terkunci dalam tanahnya, mangrove dan lahan basah sebagi ‘penyerap karbon’ yang efektif, menawarkan potensi besar dalam mitigasi perubahan iklim.
Mengapa karbon biru penting?
Mengingat ekosistem karbon biru merupakan penyerap karbon yang efektif, mereka dapat berperan besar dalam mencapai target perubahan iklim nasional dan global. Tegakkan hutan basah pesisir menyimpan karbon biru dalam jumlah besar. Sebaliknya, menggunduli lahan basah berarti melepas simpanan itu ke atmosfer. Oleh karena itu, manajemen ekosistem karbon biru yang baik menjadi penting agar berbagai negara dapat melangkah maju dalam memenuhi komitmen kontribusi nasional Perjanjian Paris, yang merupakan salah satu tujuan iklim. Berbagai langkah dijalankan untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan nomor 14, yaitu untuk “melindungi dan secara berkelanjutan memanfaatkan secara berkelanjutan samudera, laut dan sumber daya perairan.
Di Tanzania dan Indonesia, negara yang memiliki area hutan mangrove terbesar dunia, penelitian terbaru sebagai bagian dari program Global Comparative Study on Forest Tenure Reform (GCS-Tenure) yang dipimpin CIFOR menemukan, seperti di hutan terestrial, hutan mangrove sangat diuntungkan dari devolusi tenurial dan hak kelola untuk masyarakat lokal.
Blue Carbon atau karbon biru saat ini memang belum banyak diperbincangkan dalam keterkaitannya dengan perubahan iklim. Sebab selama ini, perhatian terhadap perubahan iklim masih banyak ditujukan pada bahan-bahan fosil maupun perlindungan hutan. Padahal karbon biru di Indonesia ternyata juga memiliki peran penting dalam pengendalian perubahan iklim dunia mengingat Indonesia memiliki wilayah mangrove yang cukup luas.
Sebagaimana siaran pers yang diterima GNFI, Conservation International (CI) Indonesia pada 18 Oktober yang lalu mengungkapkan bahwa Indonesia ternyata memiliki luasan wilayah mangrove sebesar 3,1 juta hektare menurut data tahun 2015. Luasan tersebut dinilai setara dengan 22 persen ekosistem mangrove seluruh dunia. Di Indonesia sendiri, wilayah mangrove terluas terletak di Papua Barat yang luasnya mencapai 482,029 hektare. Hutan mangrove sendiri merupakan salah satu ekosistem karbon biru yang mampu untuk menyerap karbon dioksida yang dihasilkan oleh aktifitas perubahan energi termasuk aktifitas manusia.
Hasil yang didapatkan cukup mengejutkan. Marine Program Director CI Indonesia, Victor Nikijuluw menjelaskan bahwa ternyat a stok karbon pada empat kawasan yang diteliti setara dengan jumlah karbon yang dihasilkan oleh 19,7 juta unit kendaraan bermotor. Jumlah ini sama dengan pemakaian 39,3 miliar liter bensin setiap tahunnya. Blue carbon sendiri di tingkat Internasional telah digaungkan sebagai salah satu ekosistem yang mampu mengurangi emisi karbon dunia. Gaung tersebut secara resmi dilakukan di UN Cilmate Change Conference of The Parties (COP) ke 22 yang dilaksanakan di Maroko tahun 2016 yang lalu.
Source : https://forestsnews.cifor.org/55426/apa-itu-karbon-biru?fnl=id