Oleh: Hairatunnisa (BW 2014)
“Auuum….,” rintihku. Tolong aku, siapa pun itu. “Auumm… Aauuumm…,” rintihku lebih keras, mungkin rintihanku tadi terlalu lemah. Tolong, aku! Wahai manusia, Pak gajah, Ibu orang utan, Kakek tapir, Oom buaya. “Auummm….,” erangku dengan putus-asa. Atuk, selamatkan aku…. Seekor anak kucing berbelang tiga melihat takut-takut ke arahku, ia meneliti tubuhku yang dijerat oleh jerat-jerat kawat duri yang beraliran listrik. Beberapa jenak ia hanya menatap iba ke arahku lalu mengeong lemah. Mengertilah aku maksudnya, kucing kecil itu tak mampu membantuku, dua hari yang lalu dua saudaranya baru mati tersengat kawat listrik itu. Kawat listrik yang dipasang oleh pihak perusahaan perkebunan kelapa sawit mega raksasa sebulan lalu untuk mengeksekusi hewan-hewan yang menurut mereka akan merusak perkebunan sawit yang menghasilkan omzet milyaran rupiah.
“Meong,” pamitnya. Semoga berhasil. Aku terkulai lemah melihat kepergian si kucing berbelang tiga itu. Sekujur tubuhku sungguh nyeri, dan rasanya sakit. Aku tak memiliki perbendaharaan kata yang memadai untuk mendeskripsikan bagaimana sakitnya, rasa sakit ini perpaduan rasa nyeri yang ditimbulkan kawat-kawat duri itu ditambah dengan sengatan listrik yang membakar urat tubuhku. Kawat-kawat itu menciptakan baret-baret tak beraturan di tubuhku yang semakin membuat tubuhku tak memiliki daya.
Hari semakin merangkak menuju senja, manusia-manusia yang berprofesi sebagai petani di perkebunan ini mungkin juga segera beranjak ke peraduannya masing-masing, lalu bercengkrama bersama keluarganya. Setitik air mata jatuh dari pelupuk mataku. Aku rindu keluargaku. Mataku sebentar lagi mungkin akan terpejam. Jika manusia memiliki malaikat pencabut nyawa ketika mereka mati, aku selalu bertanya-tanya apakah jika kami mati, malaikat juga akan menjemput kami? Kelopak mataku semakin berat, namun di ujung sana aku melihat cahaya berwarna putih yang sangat menyilaukan perlahan-lahan mendekatiku. Apa aku akan mati secepat ini?
“Lihat! Itu harimau Sumatra!”
“Benar, dia terlihat terluka karena jerat-jerat ini. Apa yang akan kita lakukan?”
“Aku tidak tahu…. Padahal selama ini, jerat yang mereka pasang hanya mengenai hewan-hewan seperti kucing hutan, celeng, dan ayam hutan. Mungkin ada baiknya kita memanggil mandor?”
“Bodoh kamu! Yang aku tahu harimau ini kalau dijual harganya sangat mahal! Jutaan, tahu! Jumlahnya di seluruh dunia tak sampai seribu ekor!”
***
Kita hidup di dunia yang dipenuhi oleh para bedebah. Bedebah yang ada di jajaran tinggi pemerintahan, di aparat kepolisian. Bedebah yang mengabaikan segala regulasi dan protokoler dengan menjual surat-menyurat kepemilikan dan mengizinkan pembukaan lahan-lahan baru. Bedebah yang meloloskan dan melicinkan eksekusi habitat kami. Hutan-hutan perawan di pulau Sumatra dipangkas untuk dijadikan perkebunan karet dan kelapa sawit yang laku dijual di pasaran dunia.
Kamu mungkin belum lahir saat itu, aku juga bahkan belum lahir, di saat ketika Sumatra masih diliputi hamparan hijau pepohonan. Manusia saat itu sudah ada, mereka tinggal di perkampungan-perkampungan kecil yang dipimpin oleh kepala suku mereka. Pada zaman itu manusia dan alam hidup berdampingan dengan harmonis.
“Namun zaman telah berubah banyak Hena, selepas kompeni datang dan mengambil alih hutan kita, mereka mengganti hutan dengan kebun-kebun kopi, teh, dan karet. Lalu orang Jepang datang dan ikut mengganti hutan dengan kebun karet, kina dan tebu. Tahukah kamu Hena, kawanan kita sudah berulangkali bertransmigrasi dari satu wilayah ke wilayah lainnya, akibat semakin sempitnya habitat kita. Kawanan yang beruntung seperti rombonganku untungnya tiba di hutan ini, kawanan lainnya yang tidak beruntung terkadang tersesat ke perkampungan penduduk dan dibunuh penduduk sekitar.” Kata Atuk saat itu.
“Sekarang harimau yang dulu bersamaku tersebar di hutan-hutan Provinsi Riau, di daerah Kabupaten Pelalawan dan Indragiri Hulu. Jumlah kita Panthera tigris sumatrae di Riau ini mencapai sepertiga jumlah seluruhnya yang tersebar di hutan-hutan Pulau Sumatra, Hena. Namun dari tahun ke tahun jumlah kita semakin merosot.”
Bedebah!
Perkataan Atuk yang terdengar seperti dongeng saat itu sulit kupercayai. Aku tidak percaya ketika ia mengatakan rumah kami semakin sempit. Hei, buktinya kamu lihat aku masih bisa berpacu bersama saudara-saudaraku di hutan-hutan rimba kami, sesekali kami juga berenang di sungai sambil tertawa cekikikan ketika celeng-celeng merasa tersudutkan akan kehadiran kami. Kami masih bisa bersenang-senang makan durian yang jatuh di tanah. Bahkan hidupku masih sangat sempurna ketika Atuk menikahkanku dengan harimau jantan bernama Thera. Jadi, bagaimana mungkin aku bisa percaya dengan mimpi buruk yang diceritakan Atuk?
***
Pertumbuhan di provinsi ini berkembang cepat dan menggurita beberapa tahun terakhir. Jumlah manusia semakin banyak sehingga mereka membutuhkan lahan untuk perumahan-perumahan yang akan mereka huni. Tidak hanya itu, investor dari luar daerah juga banyak berdatangan untuk menanamkan investasi di hutan kami. Dekade ini, bisnis perdagangan kelapa sawit dan karet memang populer, meskipun harga komoditas tersebut turun-naik di pasaran. Hutan-hutan kami dibabat kembali, bukan oleh kompeni, bukan juga oleh orang-orang yang mempropagandakan 3A, tapi dibabat oleh bedebah-bedebah yang ada di sini.
Aku baru sadar mimpi buruk yang Atuk ceritakan bukanlah rekaan dari imajinasi terliarnya. Ketika pernikahanku dengan Thera baru saja selesai digelar, Thera mengajakku untuk berpindah ke wilayah lain. Untuk mengembangkan dinasti Hena-Thera selanjutnya, karena sudah merupakan hal lumrah harimau dewasa memerlukan kawasan jelajah seluas 100 kilometer. Padahal fakta sebenarnya adalah karena habitat kami yang semakin sempit, mengharuskan kami untuk mencari wilayah baru.
“Hena, apa yang kamu lamunkan selama perjalanan ini?”
Aku tersenyum pahit. “Tidak ada Thera, aku hanya baru menyadari rumah yang kutinggali selama ini ternyata tidak begitu luas. Sejak kecil aku selalu membayangkan bahwa seluruh dunia ini adalah hamparan rimbun hutan-hutan rimba, dimana aku bebas berlari. Namun ternyata aku konyol sekali, selama ini aku hanya berlari dan berotasi di tempat yang sama.” Aku mendengus, tapi mataku melihat hal ganjil yang menarik perhatianku. “Lihat! Tahukah kamu bahwa baru kali ini aku melihat jalan ini?” jariku menunjuk ke arah jalan yang kami lewati.
“Begitu, jalan ini dibangun oleh salah satu perusahaan mega raksasa. Kudengar mereka membangun ini untuk mempermudah transportasi. Tapi justru, jalan ini yang mempermulus illegal logging,” katanya. Aku mendengar helaan berat tiap kata yang keluar dari bibirnya.
Aku menelan ludah yang terasa begitu hambar. Mimpi buruk yang diceritakan Atuk lambat-laun mendekati realitas. Satu persatu aku memerhatikan kendaraan yang lalu-lalang di jalanan ini. Satu, dua, tiga, empat, entahlah, kendaraan-kendaraan itu didominasi oleh truk-truk bermuatan besar yang memuat balok-balok kayu yang terlihat masih basah. Atuk pernah mengatakan, untuk membuat peralatan kayu yang tahan lama dan bernilai jual tinggi, orang-orang setidaknya harus menjaga kayu agar terus mendapat sinar matahari atau tidak sama sekali. Sebab yang menyebabkan kayu menjadi mudah lapuk adalah karena sering ditimpa cahaya matahari dan tetes hujan. Oleh sebab itu, kayu-kayu biasanya didiamkan di dalam sungai tempat biasa aku berenang bersama saudara-saudaraku.
Irama air sungai yang memiliki ritmis, kecipak-kecipak air yang memercik suraiku, buruan lezat yang terapung dengan darah bersimbah bercampur bersama air sungai.
Thera membangunkan. Aku mengusap manik-manik mataku yang terlampau lelah. Perjalanan panjang dengan tempo yang tidak jelas dan tak ada makanan telah menguras energiku. Makanya aku sendiri lupa sedang berada di wilayah ini dengan jatuh tertidur, padahal baru tadi aku merasa masih berada di habitat lama kami dan bermain di sungai. Padahal barang jadi sejak daritadi Thera sudah memutar-mutar dan menjelajah banyak wilayah.
“Hena, aku sungguh takut kalau kita tersesat. Aku tak menemukan hutan di manapun. Semua yang kulewati adalah perkampungan penduduk dan perkebunan-perkebunan kelapa sawit dan karet. Jika kita kembali memutar ke habitat kita yang lama, aku sungguh tak ingat jalan kembali untuk pulang.” Itu adalah adalah muka penuh kecemasan yang baru pertama kali diperlihatkan oleh Thera. Thera lalu terdiam menunggu reaksiku.
Tapi lebih-lebih aku yang terdiam karena mendengarnya. Atuk memang benar, habitat kami semakin sempit dan menghilang dengan tak terkendali. Bedebah yang bernama manusialah yang mempercepat kepunahan bangsa kami. Seharusnya sejak dari dulu aku memercayai dongeng-dongeng Atuk dengan demikian aku tidak akan meninggalkan rumahku yang aman. Taman Nasional Tesso Nilo yang dijadikan hutan konservasi pelindungan gajah dan harimau Sumatra adalah rumahku.
Semalaman aku berceracau pada Thera. Aku meradang mengatai bahwa dia jantan yang tidak perkasa dan tangguh seperti yang didengung-dengungkan Atuk, aku juga mengatakan penyesalanku menjadi betinanya. Karena dialah aku keluar dari zona aman Tesso Nilo menuju dunia antah-berantah yang diobsesikan oleh Thera. Thera membual akan menemukan dunia baru bagi kawanan kami. Hutan-hutan perawan yang luasnya tak berbilang entah berapa hektar dengan hewan buruan yang banyak sekarang hanya berupa fantasi. Murkaku kepadanya terus bertambah-tambah karena diperparah kondisi lambungku yang kosong. Kelaparan itu sangat mengerikan, kelaparan memaksamu menjadi temperamental kelas kakap.
Sepanjang malam itu, Thera hanya bisa mencicit karena ciut padaku.
***
Matahari sudah menyingsing, membuat mataku refleks terpicing ketika cahaya dengan berbabagai spektrum menyeruak masuk ke dalam manik mata. Dengan mata masih setengah terpejam aku memandang sekitarku. Rasanya ada yang ganjil. Thera, Thera, di mana Thera?
Lambungku masih kosong, namun aku berupaya untuk mencari Thera. Thera pasti ada di suatu tempat sekarang, saat ini mungkin ia bepergian entah kemana. Aku sungguh menyesal telah mencaci Thera di saat malam laknat itu. Di situasi sulit ini tak pantas kiranya kami berpisah, seharusnya kami harus tetap bersama. Tak terasa riak-riak air mata mulai menggenangi pelupuk mataku. Air itu mengumpul dan menggantung di wajahku, lalu perlahan terjatuh seiring dengan langkah kakiku yang menyusuri kebun-kebun serta pagar-pagar rumah penduduk.
Hena, kawanan harimau lainnya yang tidak beruntung terkadang tersesat ke perkampungan penduduk dan dibunuh penduduk sekitar.
Tidak, aku berharap Thera tidak akan begitu bodoh sehingga tertangkap oleh penduduk. Aku berpacu demi hitungan jam, karena tak lama lagi, percaya atau tidak, manusia-manusia akan segera memulai aktivitas pagi mereka. Anak-anak akan berjejer menuju sekolah dengan tas-tas mentereng mereka, ibu-ibu berkumpul mengitari pedagang sayur keliling, sementara bapak-bapak akan berangkat ke kebun. Jika tidak bergerak cepat, mereka akan menyadari kehadiranku dan Thera.
Dari radius beberapa meter, terdengar bunyi-bunyian yang sungguh ramai. Suara kentongan dipukul bersahutan, dengungan sirene dari toa-toa yang menulikan pendengaran, berbagai suara tersebut menarik perhatian orang-orang untuk keluar rumah.
“Situasi darurat! Seekor harimau kami temukan di salah satu kandang kambing warga.”
“Situasi darurat! Warga diminta untuk waspada dan berhati-hati. Jika berjumpa dengan harimau, segera laporkan ke pos ronda terdekat!”
“Bapak, ibu, adik-adik… Tolong, beri jalan untuk kami…,” lanjut suara pemilik toa lainnya untuk meredam massa yang kian membludak. Wajah-wajah ingin tahu tersebut patuh dan menyingkir beberapa langkah.
Iringan itu akhirnya beberapa meter lagi akan sampai ke arahku, namun aku bersumpah melihat tubuh Thera yang dipandu dengan bilah bambu ada di iringan itu. Tubuhnya bercucuran darah segar yang menetes ke jalanan, sepintas mata kami sempat bertemu sebelum akhirnya matanya menutup untuk selamanya.
Theraaa….! Aku bersiap-siap untuk menghampiri mereka dan mengambil Thera ke sisiku. Thera, Thera?!
“Harimau Sumatra bodoh, mau ke mana kamu? Apa yang bisa dilakukan oleh seekor harimau kelaparan sepertimu saat ini? Kamu tahu, aku yakin jantanmu itu telah mati. Aku sendiri yang menyaksikan bagaimana tubuhnya yang ringkih itu diserbu orang-orang itu. Digebuki, dipukuli dengan parang, pentungan, atau apa saja yang bisa digunakan untuk memukul. Padahal harimau bodoh, harimau malang itu hanya ingin makan untuk bertahan hidup, dia bahkan ingin mengambilkan betinanya makanan.” Kata Burung Uak-Uak.
Akhirnya beginilah aku, terseok-seok menyerat tubuhku ke tempat yang menurut burung uak-uak itu lumayan aman. Situasi di kampung itu saat ini memanas, jika sekali mereka berjumpa atau bersisian denganku, riwayatku akan tamat seperti Thera. Burung Uak-Uak menyarankanku supaya melarikan diri ke perkebunan kelapa sawit yang berbatasan dengan kampung itu. Tak terlalu jauh memang dari perkampungan, tapi setidaknya aku bisa menghirup napas dengan sedikit lega di sana.
Kemudian cerita terus berlanjut dengan akhirnya aku terperangkap dalam jerat-jerat kawat duri ini.
“Lihat! Itu harimau Sumatra!” terdengar suara-suara patahan kayu berderak seperti diinjak oleh orang. Lalu orang-orang itu menghampiriku. Setelah itu aku tak bisa mendengar apa-apa lagi.
Hena, sudah sejak lama peradaban dibangun berdasarkan hukum rimba. Sejarah mencatat, jika kau kuat dan punya kekuatan, maka kau akan menang.
Dan bedebah bernama manusialah yang menang.
***
“Pemirsa, saat ini tim kami menemukan bangkai harimau Sumatra yang telah diambil kulit, kumis, cakar beserta gigi-giginya. Diduga harimau ini adalah korban sindikat perdagangan bagian tubuh harimau Sumatra yang selama ini diincar kepolisian pusat. Belakangan ini, isu-isu perdagangan tubuh hewan memang marak terdengar, apalagi semenjak hilangnya habitat harimau secara tidak terkendali menyebabkan harimau sering masuk ke perkebunan dan perkampungan penduduk. Diduga tiga harimau Sumatra tewas dibunuh warga Riau sepanjang tahun 2012.” Reporter bermake-up tipis itu lantas memandang iba ke arah bangkai harimau, jarak reporter dan bangkai harimau itu tak sampai sepelemparan batu.
“Pemerintah berjanji akan terus menindaklanjuti kasus perdagangan bagian tubuh harimau Sumatra serta akan mulai mengusut kasus hilangnya hutan-hutan yang menjadi habitat harimau Sumatra. Kami liputan senja, melaporkan secara langsung dari lapangan, kawasan perkebunan kelapa sawit, Indragiri Hulu, Riau.”
Cerita ini hanyalah fiksi belaka, jika terdapat kesamaan nama, tempat, dan kejadian, sesungguhnya itu adalah cerminan dari isu-isu yang belakangan ini terjadi di kehutanan.
keren banget, menarik untuk dibaca
Keren kak ceritana , semoga tetap kompak