“Bungkus PerMen” No. 39 Tahun 2017 tentang Perhutanan Sosial (?)

Dunia kehutanan telah dibuat ramai dengan dikeluarkanya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 39 Tahun 2017 tentang Perhutanan Sosial yang ditetapkan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada tanggal 9 Juni 2017 dan mulai berlaku pada tangal 4 Juli 2017 silam. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tersebut menyatakan bahwa hutan negara yang dikelola oleh Perum Perhutani dapat dimanfaatkan masyarakat melalui sistem perhutanan sosial. Melalui peraturan tersebut Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan dapat memberikan izin pemanfaatan hutan perhutanan sosial (IPHPS) kepada kelompok masyarakat dalam jangka waktu 35 tahun. Pada bab 1 pasal 1 dalam peraturan Menteri Kehutanan No.39 Tahun 2017 tersebut dijelaskan bahwa perhutanan sosial di Wilayah Kerja Perum Perhutani adalah sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan negara yang dikelola oleh Perum Perhutani yang dilaksanakan oleh masyarakat sebagai pelaku utama dengan tujuan untuk peningkatan kesejateraan hidup, keseimbangan lingkungan, dan dinamika sosial budaya dalam bentuk izin pemanfaatan. Perhutanan sosial diberikan pada wilayah kerja dengan tutupan lahan yang terbuka atau terdapat tegakan kurang dari 10%, apabila kondisi sosial masyarakat setempat memerlukan penanganan secara khusus dapat diberikan IPHPS pada areal yang terbuka dengan tegakan hutan di atas 10%. Kegiatan yang dilaksanakan dalam IPHPS adalah meliputi usaha pemanfaatan kawasan, pemanfaatan hasil hutan kayu dan non kayu dalam hutan tanaman, pemanfaatan air, energi air, sarana dan jasa wisata alam, serta usaha pemanfaatan penyerapan dan penyimpanan karbon di hutan produksi dan hutan lindung. Peraturan tersebut tidak membutuhkan waktu yang lama untuk memanen polemik dari berbagai kalangan.

Peraturan Menteri LHK No. 39 Tahun 2017 tentang Perhutanan Sosial tersebut dianggap bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan pasal 48 yang menyatakan bahwa, pejabat pemerintah dilarang menerbitkan izin pemanfaatan hutan di area kerja badan usaha milik negara bidang kehutanan dan pengelolaan hutan, kebijakan tersebut juga tidak menjelaskan adanya ketentuan yang bersifat memaksa pemegang izin untuk menjaga kelestarian hutan. Oleh karena itu, kebijakan tersebut dirasa belum bisa menjadi solusi bagi buruknya pengelolaan hutan di Indonesia. Selain beberapa hal di atas, dalam pelaksanaan kebijakan perhutanan sosial juga dapat diperparah dengan adanya tumpang tindih peran dan buruknya koordinasi antar pihak yang memicu timbulnya masalah, semisal konflik antara LMDH (Lembaga Masyarakat Desa Hutan) dan masyarakat yang baru diberi izin, konflik pemafaatan air, batas lahan garapan, dan sebagainya.

Menilik performa pengelolaan hutan oleh masyarakat untuk menemukan sumber kekhawatiran baru terkait diberlakukanya kebijakan tersebut. Praktik pengelolaan hutan berbasis masyarakat kerap kali tidak mampu mengkoordinir tiga pilar kelestarian yaitu sosial, ekonomi, dan lingkungan. Terlebih untuk masyarakat desa yang cenderung subsisten dalam mengelola lahan. Diperlukan upaya untuk menyikapi sumber daya manusia yang melimpah tersebut diantaranya membangun SDM yang berkualitas, terampil, dan kompeten untuk menjamin kemampuan masyarakat dalam mengelola sumber daya alam, serta pengembangan teknologi tepat guna untuk menciptakan masyarakat yang mandiri. Belajar dari kegagalan pengelolaan hutan berbasis masyarakat di Boalemo, Provinsi Gorontalo, Indonesia dengan permasalahan utama adalah keterbatasan sumberdaya dana dan sumberdaya manusia yang kurang mumpuni (De, et al., 2016). Masyarakat sesungguhnya memerlukan pelatihan tentang pengelolaan pohon dan hutan agar dapat terus berlanjut. Diharapkan pihak-pihak pengelola dapat saling berbagi peran dan kontribusi masing-masing dalam mengelola hutan. Menurut pakar kehutanan UGM, Prof. Maria S.W Sumardjono pengelolaan hutan harus sesuai dengan asas keadilan serta memberikan manfaat dan kemakmuran bagi masyarakat.

Leweung hejo, masyarakat ngejo”

-Salam Lestari-

Artikel oleh: Dwi Susilowardani (11514032)

Desain oleh: Alin Anindya (11514041)

 

 

Referensi:

De Royer S, Pradhan U, Juita R. 2016. Gagalnya Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat dalam Memenuhi Janjinya. Hutan Kemasyarakatan dan Hutan Tanaman Rakyat di Boalemo, Provinsi Gorontalo, Indonesia. Brief no 65. Bogor, Indonesia. World Agroforestry Centre (ICRAF) Southeast Asia Regional Program.

Peraturan Menteri Kehutanan No. 39 Tahun 2017 tentang Perhutanan Sosial di Wilayah Perum Kerja Perhutani

tirto.id

fkt.ugm.ac.id

3 Comments

  1. 👍 bagus, tapi sepertinya baru perspektif dari kehutanannya? Bagaimana perspektif dari masyarakatnya? Ditunggu lanjutannya

  2. Bagusbagus nih rawan benturan antara perhutani dan lmdh

  3. menaik untuk dikaji lebih dalam dari kacamata hukum dan sosial

Leave a Reply to Dedy Cancel

Your email address will not be published.